What Is Love


Aku merapatkan jaket tebalku sekali lagi dengan tangan yang gemetar karena menggigil hebat. Suhu yang menurut acara ramalan cuaca tadi pagi sekitar minus lima derajat celcius ini benar-benar menyiksa tubuh berdarah tropisku ini. Vancouver sialan. Musim dingin lebih sialan lagi. Persetan dengan romantisme-romantisme musim dingin yang sering dikisahkan dalam cerita bahwa musim dingin itu romantislah, so sweet lah, atau apa lah. Fakta yang kudapati, musim dingin membuat wajahku sepuluh kali lebih jelek, dengan mata berair, hidung merah membesar, kaki yang gemetaran, dan belum lagi ditambah badan yang  seperti bola karena harus mengenakan jaket berlapis-lapis, atau jika tidak akan terkena hipotermia atau pingsan dengan konyolnya di tengah jalan.
Aku sendiri masih tak mengerti mengapa menuruti ide gilaku untuk pergi kemari, meinggalkan hidup nyamanku di Indonesia, mati-matian mengejar beasiswa Fullbright yang luar biasa sulit, dan memilih pindah ke Vancouver, lalu berkuliah di UBC, University of British Columbia. Dengan langkah yang berat aku memaksa kakiku untuk terus berjalan ke halte bus untuk seterusnya ke UBC sembari mengingat-ingat lagi apa tujuan lainku kemari selain tujuan gila itu. Ya, aku hanya memiliki satu tujuan, yakni mencari seseorang. Seseorang dari masa kecilku.
         Ingin tertawa rasanya mengingat ide konyolku ini. Tentu saja, anak itu belum tentu ada di sini. Bodoh, bagaimana aku bisa percaya janji anak dua belas tahun?
Fuh, aku beruntung bus langsung tiba saat aku sampai di halte. Rasanya nyaman berada di dalam bus yang dilengkapi penghangat. Cih, sial ternyata bangkunya penuh semua. Aku melempat pandanganku ke seluruh isi bus. Memasang tampang imut, berharap ada penumpang baik hati yang merelakan tempat duduk mereka untukku. Akan tetapi, nasibku sial kali ini. Tak ada satupun penumpang yang memperhatikanku. Alih-alih memperhatikan, melirikpun tidak! Mungkinkah wajahku kurang cantik untuk memengaruhi mereka? Ayolah, mana Kanada yang terkenal dengan kedamaiannya, dengan toleransinya, mana pula bukti kalau negara ini adalah negara paling memenuihi kriteria negara dengan masyarakat mendekati masyarakat madani? Cih, aku memasang muka sebal karena acuhnya penumpang bus yang kutumpangi ini.
Fuh, aku memasang headset, menyalakan iPod-ku, berharap mengurangi emosiku yang sudah naik ke ubun-ubun. Lagu Baby Don’t Cry milik EXO langsung mengalun indah di telingaku.
Awalnya begitu damai sampai tiba-tiba.... Ciiiiitttt!!!! Bruk! Bus mengerem mendadak tiba-tiba. Aku yang terkeget langsung terlempar ke depan dan tidak sengaja mendorong seseorang di depanku. Kontan saja, orang itu jatuh tersungkur. Beragam kata umpatan keluar dari mulut orang laki-laki itu. Tentu saja, umpatan itu ditunjukkan padaku.
Aku yang baru bisa mencerna apa yang baru saja terjadi hanya bisa terdiam. Entah, rasanya ini seperti deja vu. Aku pernah mengalaminya. Aku pernah membuat seseorang jatuh, dulu, dan ingatan itu kembali lagi.
Samar-samar aku mengingatnya. Aku masih taman kanak-kanak ketika mama membawa anak itu ke rumah.
“Elisa, ini Bagas, dia saudaramu sekarang.”
Aku yang ketika itu belum mengerti apa-apa hanya memandang lekat-lekat anak laki-laki itu dari ujung rambut sampai ujung kaki. Badannya kurus, kulitnya hitam, dan tinggi badannya lebih tinggi dariku. Di tangan kirinya, ia memeluk sebuah boneka robot Power Rangers merah yang sudah jelek dan tangan yang satunya lagi diulurkannya untuk menyalamiku.
“Aku nggak mau main sama kamu. Kamu jelek! Kamu nggak punya barbie kayak aku!” Aku mendorongnya keras hingga jatuh tersungkur lalu lari meninggalkan “saudara” baruku itu.
Tch, geli rasanya mengingat kejadian yang sudah belalu belasan tahun itu. Awalnya aku seperti ice princess, membangun tembok tinggi di sekitarku dan pura-pura cuek terhadap anak itu. Padahal, sebenarnya aku mengamatinya diam-diam bahkan aku masih terpatri dengan kuat di ingatanku ketika sebuah peristiwa terjadi. Peristiwa yang tidak akan pernah kulupakan. Peristiwa di mana anak itu menunjukkan emosi yang sebenarnya padaku.
Saat itu kami sama-sama baru memaki kelas satu Sekolah Dasar, dan aku masih ingat hari itu aku siap lebih pagi dari biasanya. Duduk di dekat pintu garasi, menunggu ayah dan errr, Bagas.
“Elisa, udah siap?” tanya ayah sambil membuka pintu mobil dan di belakangnya diikuti Bagas yang masih memeluk ranger merah jelek kesayangannya.
“Elisa, Bagas, masuk mobil sayang,” perintah ayah.
Bagas akan masuk ke kursi belakang ketika aku menahan tangannya. “Di sekolah nanti, kita pura-pura nggak saling kenal ya. Aku nggak suka sama kamu. Kamu jelek! Aku malu punya sodara jelek item kayak kamu!” Lalu dengan cueknya aku masuk ke mobil mendahului Bagas yang diam sesaat, lalu tersenyum.
“Ya, Bagas emang jelek, item, nggak putih kayak Elisa. Tapi kan Bagas saudara Elisa, Mau Elisa jahat dan nggak suka sama Bagas pun, Bagas tetep saudara Elisa,” ucapnya diakhiri dengan senyum. Entah kenapa aku yang masih kecil itu, untuk pertama kalinya merasakan sesuatu yang aneh bergerumul di dadaku. Rasanya aneh, tidak nyaman, dan menyakitkan.
Lagu Baby Don’t Cry berganti menjadi Angel milik EXO. Hey, kenapa EXO lagi? Aku tersenyum sendiri, rupanya aku ketularan virus korean pop dari teman-temanku.
Angel. Eh, malaikat? Malaikat pelindungkah artinya? Entahlah tapi tunggu dulu rasanya aku ingat sesuatu. Argh... sialan dengan lagu-lagu EXO yang terus mengingatkanku dengan Bagas, yang mau tidak mau harus kuakui, kalau Bagas adalah malaikat pelindungku, yang selalu melindungiku. Setidaknya aku masih ingat dua peristiwa yang tidak pernah aku lupakan, mungkin seumur hidupku.
Kalau tidak salah waktu itu aku masih kelas dua. Waktu itu juga adalah waktu istirahat. Aku dan Riri, temanku memetuskan untuk membeli jus jeruk di kantin. Karena waktu itu adalah waktu istirahat, tentu saja suasana kantin sangat ramai. Tapi untung saja aku beruntung, dengan susuah payah akhirnya aku bisa mendapatkan jus jeruk favoritku. Sialnya, keberuntungaku harus berakhir ketika aku didorong dari belakang dan harus menabrak anak laki-laki berbadan besar di depanku dan tentu saja, menumpahkan jus jerukku di bajunya.
“Heh anak kecil, punya mata nggak sih??? Kamu nggak liat bajuku kotor??” Anak laki-laki itu menyembur marah sambil menunjuk-nunjuk bajunya yang terkena jus jeruk.
Aku hanya menunduk takut. Dia kelas lima, namanya Dana, anak nakal yang sering dibicarakan Bu Guru di kelas. Tanganku meremas rok kuat-kuat. Aku mulai menangis. Aku benar-benar takut.
“Anak kecil, baru kelas dua udah berani cari masalah hah!!!” bentaknya lagi, kali ini Dana meremas kemejaku.
“Ckckck, anak perempuan emang bisanya cuma nangis. CEPETAN TANGGUNG JAWAB!!!!” Dana membenatak lagi dan kali ini benar-benar keras, membuat seluruh orang yang ada di kantin diam, tidak ada yang berani melawan Dana.
“Aku...aku....hiks...Maa-af,” ucapku terbata-bata.
“Apa? Maaf? Emangnya cukup Cuma minta maaf?? Kamu ya nggak tau di...”
“Maaf, Kak Dana, Elisa udah minta maaf, tadi dia nggak sengaja juga kan?”
Aku kaget mendengar suara yang sangat kukenal datang dari sebelahku. “Bagas.”
“Kak, nanti baju kakak pasti Elisa ganti kok. Ya nggak Lis?” tanya Bagas sambil menatapku. Aku hanya diam, sampai Bagas mengedipkan sebelah matanya.
“Iy....iya.”
“Aish, kamu siapa sih??? Ini bukan urusanmu bocah kelas dua!!!” Kak Dana memandang sebal pada Bagas.
“Aku saudaranya Elisa, Kak. Jadi, urusannya Elisa urusanku juga. Jadi, Kakak kan udah kelas lima, tau kan gimana caranya maafin orang?” Ujar Bagas sambil tersenyum.
“APA-APAAN KAMU SIH BOCAH!!!” Bentak Kak Dana sambil mendorong Bagas kuat-kuat. Saking kuatnya, Bagas sampai tersungkur ke lantai dan kepalanya membentur kaki meja di dekatnya.
“Bagaaaaaaaassss!!!!!!!!” Aku berteriak keras sampai berikutnya aku lupa apa yang terjadi.
Tch, aku tersenyum sendiri mengingat apa yang Bagas, anak itu alami demi melindungiku yang saat itu masih bersikap buruk padanya. Gara-gara insiden itu, bagas harus dirawat di rumah sakit karena kepalanya terkena gegar otak ringan, tapi sisi baiknya sejak saat itu aku mulai bersikap baik pada Bagas.
“Neoui sesangeuro yeorin barameul tago...” Tanpa sadar aku bersenandung kecil. Lagu Angel ini benar-benar mengingatkanku pada seorang angel yang pernah hadir di hidupku.
Ada satu lagi peristiwa yang selalu terpatri kuat di otakku. Aku ingat, waktu itu sedang libur kenaikan kelas ketika keluargaku memutuskan berlibur ke Yogyakarta. Saat itu aku dan Bagas baru saja lulus dari Sekolah Dasar. Tentu saja, aku senang berlibur ke Yogyakarta. Kami, tepatnya aku, Bagas, Mama dan Ayah tinggal di Yogyakarta selama empat hari. Di hari terakhir, Mama memutuskan untuk mampir ke Malioboro Mall. Di situlah peristiwa tak terlupakan itu dimulai.
“Bagas, aku pengen pipis,” aku mengguncang-guncang badan Bagas yang tertidur, namun sayangnya tidak ada respon apa-apa.
“Bagas ngantuk ya? Aku pipis dulu ya,” dengan langkah santai aku meninggalkan Bagas yang masih tertidur pulas.
Aku berjalan sambil bersenandung kecil menuju wc yang menurut buku panduan wisata ada di basement mall, sedangkan mobil ayah diparkir di seberang jalan mal. Berarti aku harus menyeberang dan turun ke basement.
Aku baru saja masuk pintu basement ketika dengan cepat, sangat cepat, seseorang menabrakku. Aku terjatuh ke tanah, dan saat itu aku sadar, tas slempangku hilang.
Entah mendapat perintah dari otakku bagian mana, kakiku mulai berlari mengejar copet itu. Aku berlari sekencang mungkin, mengabaikan kakiku yang sakit, mengabaikan bajuku yang mulai basah karena hujan mulai turun, mengabaikan fakta bahwa aku tidak tahu daerah Yogyakarta sama sekali.
Aku terus berlari sampai aku melupakan fakta yang terpenting. Aku hanyalah anak perempuan dua belas tahun, sedangkan pencopet itu adalah laki-laki berbadan besar. Perlahan lahan bayangan pencopet itu mulai menghilang. Aku hampir terjatuh di jalan jika sepasang tangan itu tidak menangkapku.
“Elisa!!!” sayup-sayup aku mendengar suara yang sangat familiar di telingaku. Aku mendongakkan wajah, menangkap bayangan wajah Bagas tepat di hadapanku. Dua tangannya memegang erat lenganku.
“Ba...gas.”
Dengan cepat Bagas membopongku lalu berlari menuju koridor pertokoan yang sudah sepi. Lalu, menurunkanku di kursi panjang di depan sebuah toko yang tutup. Detik berikutnya ia sudah berjongkok membelakangku.
“Elisa, naik ya,” katanya pelan sambil menepuk dua kali pundaknya, kode bahwa aku disuruh naik ke punggungnya. Aku hanya menurut saja.
Detik berkutnya Bagas sudah berjalan. Aku hanya diam membenamkan wajahku di pundaknya.Beberapa saat aku diam, tidak berani bicara. Aku takut. Aku tak berani membayangkan apa yang terjadi jika Bagas tidak menemukanku.
“Hiks...hiks.... Bagas, aku takut. Hiks,” kataku pelan sambil menangis di gendongan Bagas. Kami, maksudku Bagas masih terus berjalan di emperan toko sambil menggendongku di punggungnya. Tetesan air dari rambutnya yang basah mulai menetesi leherku. Tapi aneh, bukanya merasa tambah dingin, justru aku merasa hangat. Merasa nyaman, aku semakin membenamkan wajahku di pundaknya.
“Kenapa takut, kan ada Bagas di sini. Kita duduk dulu ya. Bagas capek gendong Lisa dari tadi.” Bagas lalu mendudukanku di sebuah meja panjang bekas stand yang sudah tutup. Dengan lembut ia mengangkat wajahku yang masih terbenam di pundaknya.
“Elisa jangan takut ya, selama ada Bagas, nggak ada orang yang bisa jahat sama Elisa. Nanti kalo ada orang jahat, langsung Bagas pukul. Ciat, ciat!!” Aku tersenyum ketika Bagas menirukan gaya seperti sedang memukul orang.
“Tuh kan, Elisa cantik kalo senyum. Jangan nangis lagi ya. Ini pakai jaket Bagas aja, biar nggak dingin. Ya, agak basah sih,” ujar Bagas lembut sambil melepas jaketnya lalu memakaikannya di badanku.
“Bagas nggak kedinginan?” Aku bertanya khawatir dengan Bagas yang hanya mengenakan kaus pendek karena jaketnya diberikan padaku.
“Nggak dong, Bagas kan kuat hehe.”
Aku hanya tersenyum melihat Bagas yang juga tersenyum. Hujan masih belum berhenti, begitupun dengan Ayah dan Mama yang belum menemukan kami.
“Elisa..” panggil Bagas pelan.
“Hmm...” aku menatap wajah Bagas lekat-lekat.
“Elisa, kalau sudah besar nanti pengen ke mana?”
“Aku pengen ke Disney Land sama Bagas!!” Aku menjawab dengan mantap.
“Kenapa harus sama Bagas?”
“Karena Bagas kan saudara Elisa. Bagas selalu ada buat Elisa kan?”
Bagas menatapku sendu. Entah ada apa. Tapi aku merasa ada sesuatu yang tidak beres di sini. Firasatku mengatakan buruk.
“Kalo.... Bagas pergi boleh nggak?” Tanya Bagas ragu-ragu. Aku mulai kawatir, tanpa terasa aku menangis lagi.
“Hiks...Bagas nggak boleh pergi... Hiks...” Kontan saja aku memeluk erat ‘saudaraku’ itu sambil menangis. Aku merasa ada sesuatu yang aneh dan terasa menyakitkan terasa di dadaku. Rasanya benar-benar sesak. Aku tak tau apa itu, tetapi sangat menyakitkan.
“Elisa jangan nangis. Nanti kalo Bagas pergi, kita bakal ketemu lagi kok. Janji. Gimana kalo kita ketemu di Vancouver, Kanada. Katanya di sana pemandangannya bagus. Kalau kita udah gede, kita ke sana sama-sama ya,”
“Tapi Bagas nggak pergi kan?” tanyaku pelan masih memeluk Bagas.
Bagas melepas pelukanku dengan pelan. Ia mengangkat wajahku. Menghapus air mata di pipiku dengan ibu jarinya yang lembut. Aku merasakan perasaan aneh lagi. Tapi kali ini berbeda. Aku merasa jantungku berdetak sangat kencang, sampai-sampai rasanya akan melompat keluar. Aku merasakan kedamaian saat Bagas menghapus air mataku, lalu dengan lembut menarikku ke pelukannya lagi. Di usiaku yang  baru dua belas tahun, aku masih belum mengerti perasaan apa itu. Namun, seiring berjalannya waktu, ketika aku semakin memahami dunia ini secara spesifik, perlahan aku mulai mengerti. Perasaan itu adalah cinta.
Lagu yang diputar di iPodku berganti lagi. Apalagi kali ini? Kuharap bukan lagu yang mengingatkanku pada Bagas, anak laki-laki jahat yang telah meninggalkanku itu. Ya, Bagas meninggalkanku. Ia pergi tiga hari setelah pulang berlibur dari Yogyakarta. Ia telah berbohong. Huh, katanya takkan meninggalkanku? Cih, persetan dengan kata-katanya itu.
Tebakanku kali ini salah. What Is Love adalah lagu yang terputar berikutnya. What Is Love? Apa itu cinta? Yeah, cinta menurutku adalah perasaan aneh yang menyiksa dan sanggup membuat orang yang meraskannya melakukan hal-hal gila. Yeah gila. Seperti aku yang nekat pergi ke sini demi mencari anak itu tanpa memikirkan pertimbangan bahwa sangat kecil kemungkinan Bagas ada di sini.
Fuh, akhirnya sampai juga. Aku tersenyum memandang gedung kampusku dari dalam bus yang hampir berhenti. Aku mulai berjalan ke depan pintu keluar bus. Headset sengaja belum kulepas. The song haven’t been over yet. Suara indah milik dua vokalis utama EXO masih mengalun dengan lembut di telingaku. Menghela napas berat, aku keluar dari bus, berharap hari ini berpihak padaku.
Aku baru berjalan beberapa langkah ketika aku merasakan seseorang menarik tanganku dan membalikkan tubuhku. Aku kaget, tapi kekagetan itu tidak berlangsung lama karena tergantikan dengan senyum begitu melihat orang di hadapanku. The song is over.
“Elisa kan? Aku Bagas, masih ingat?”

Tamat.

*nb: this story dedicated to my past friend.


Kampung Kopi, Klaten, 17 Agustus 2013, 12.00 WIB
Jam yang sama, tiga hari setelah ketemu kamu,
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "What Is Love"

Posting Komentar

Copyright 2009 Jejak Si Kinep
Free WordPress Themes designed by EZwpthemes
Converted by Theme Craft
Powered by Blogger Templates